Senin, 18 Juni 2012

Guru Berkarakter

Pendidikan berkarakter telah menjadi perbincangan hangat di dunia pendidikan akhir-akhir ini.
Berbagai macam usaha pemerinta untuk melakukan perbaikan di bidang pendidikan telah digagas. Termasuk pendidikan berkarakter ini.
Usaha ini diwujudkan dengan mengubah format Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) menjadi RPP berkarakter.

Bukan hal yang sulit. Hanya tinggal menambahkan kolom tentang karakter apa yang rencanannya akan guru tanamkan pada siswa pada saat proses pembelajaran berlangsung.

Adakah perubahan? Mungkin ada. Namun saya sebagai guru, yakin, bahwa perubahan itu akan sangat kecil. Bahkan bukan tidak mungkin penerapan RPP berkarakter ini akan semakin memperburuk keadaan yang semakin lama memang semakin buruk ini. Sebab, karakter yang dimunculkan di RPP akan terkesan memaksa dan mengada-ada. Guru jadi terpaksa sedikit bermain dalam masalah RPP ini. Kebohongan-kebohongan kecil akan menjadi wajar hanya agar RPP itu sesuai aturan yang berlaku.

Pendidikan. Kompleks memang. Tapi bukankah semua orang percaya bahwa pendidikan itu penting?
Lalu, bagaimana? Apa yang harus diperbaiki dari pendidikan kita?

RPP kah?
Penambahan fasilitaskah?
Peringanan biayakah?

Mungkin.

Tapi apa yang lebih utama?
Siapa pelaku pendidikan itu?

Guru.
Ya. Mungkin itu jawabannya.
Mungkin semua usaha perbaikan ini dapat dimulai dari perbaikan tenaga pendidiknya.
Guru yang harus berkarakter.

IKIP mungkin menjadi pilihan Perguruan Tinggi terakhir yang dipilih oleh generasi muda Indonesia setelah mereka putus asa sebab tidak dapat diterima di perguruan tinggi yang lain.
Begitu juga dengan GURU. Seringkali guru menjadi pilihan profesi terakhir setelah banyak sarjana putus asa mencari pekerjaan.

Mungkin karena ini pendidikan kita tak kunjung membaik.
Seandainya guru bisa menjadi profesi idaman banyak orang, seandainya saringan untuk masuk ke IKIP lebih ketat..
Mungkin pendidikan akan segera berubah.

Sekali lagi. Bukan RPP yang seharusnya berkarakter. Tapi Guru. Seharusnya hanya guru-guru yang berkarakter yang diijinkan memberikan ilmu pengetahuan untuk generasi muda INdonesia.

Mimpi itu menjadi kenyataan


Ini seperti mimpi.
Bahkan sampai hari ini pun, aku masih sering meminta teman2ku untuk mencubitku, hanya untuk sekedar memastikan bahwa aku sedang berada di alam nyata.

Subhanallah.... Kenikmatan yang luar biasa aku berada di tempat ini. Sebuah tempat seperti yang sering kubaca di buku-buku jaman lawas.

Dulu, ketika aku masih menjalani lamunanku bersama buku-buku dongeng, saat aku mendengar cerita ibuku yang terus menerus diulang saat aku mau tidur, sempat aku menyesal mengapa aku tidak dilahirkan pada jaman itu. Pada jaman yang serba tradisional. Sungai, kuda, kampung....dukun, dan banyak hgal lainnya.

Dan secara ajaib sekarang aku berada di tempat itu. Aku bukan hanya sekedar berkunjung kawan. Tapi aku benar-benar tinggal di sana. Selama satu tahun kedepan.

Kau tau? Aku tinggal di desa Mahaniwa. Sebuah desa yang terlalu luas untuk jumlah penduduknya. Menurut kabar yang kudengar, Desa Mahaniwa merupakan desa yang letaknya paling tinggi di Sumba Timur. Dan untuk mencapai desaku ini, Dari Waingapu (Ibu Kota Kabupaten Sumba Timur -aku sendiri tidak tau mengapa di sini sebuah kebupaten memiliki Ibu kota :p) aku bersama 7 orang temanku yang lain harus menumpangi sebuah Oto. Oto adalah sebutan untuk Truk kayu yang memang sengaja disulap menjadi kendaraan penumpang. Di bak belakang Truk ini, di pasang beberapa papan melintang dengan lebar sekitar 15 cm dan sandaran yang juga terbuat dari papan berukuran sama. Papan ini bisa dibongkar sewaktu-waktu untuk mempermudah menurunkan barang-barang bawaan penumpang.

Masalah barang bawaan, orang gunung (sebutan untuk masyarakat udik yang tinggal di daerah pegunungan Sumba) ketika turun ke kota, tidak akan pernah melewatkan kesempatan untuk berbelanja semua kebutuhan selama tinggal di gunung. Kadang jumlah barang-barang di Oto bisa lebih banyak daripada jumlah penumpangnya. Karena memang di gunung, jarang sekali di temui kios. Di desaku, hanya ada kios-kios kecil yang menjual sembako yang di bungkus sangat sangat sangat kecil. Itupun stoknya hanya beberapa bungkus saja. Dengan harga yang bisa mencapa 2 sampai 3 kali lipat dari harga normal.

Perjalanan dari Waingapu ke Mahaniwa bukanlah perjalanan yang mudah, kami harus menempuh 8 jam perjalanan dengan Oto. Pada saat musim kemarau, Oto memang bisa naik sampai ke Mahaniwa. Tapi pada musim hujan beginu, Oto hanya bisa jalan sampai di Katikuwai. Sebuah desa yang jaraknya sekitar 15 km di bawah Mahaniwa.

Katikuwai dan Mahaniwa terpisahkan oleh 3 buah sungai besar, yang pada musim hujan, sungai itu bisa meluap sampai setinggi pinggul lelaki dewasa (kalau orangnya hanya setinggi aku, mungkin airnya bisa setinggi leher, hehe ;p )

Dari Katikuwai, kami menyebrang sungai dengan berjalan kaki, tentu saja. Kalau hari sedang tidak hujan, kami bisa saja menyebranginya dengan berjalan kaki biasa, tanpa alat. Tapi kalau hari hujan, orang-orang harus berpegang pada sebuah tambang yang di ikatkan pada kedua sisi sungai. Dan untuk menyebrangi sungai itu, harus dipandu oleh orang yang benar-benar kuat. Kalau haujan sudah berhari-hari, bahkan dengan tambangpun, kita tidak bisa langgar sungai (di Sumba memang banyak bahasa Indonesia yang 'aneh' seperti 'langgar sungai=menyebrangi sungai').

Jangan berpikir bahwa perjalanan Waingapu-Mahaniwa adalah perjalanan yang membosankan. Melelahkan memang, tapi aku berani bertaruh kalian tidak akan pernah melepaskan kata 'kereennn...'. Sungguh. Luar biasa menakjubkan. Ribuan bukit di sepanjang perjalanan. Padang rumput berukuran super luas, yang kadang bisa ditemukan puluhan sapi, kerbau atau kuda sedang dengan asiknya menikmati rumput hijau. Aku mencoba menerka-nerka apa yang mereka pikirkan, mungkin sesekali mereka menghela napas panjang, berpikir kapan hamparan rumput yang luas itu akan habis mereka makan.... :p.
Di depan mata terlihat jalanan panjang yang berkelok-kelok, seksi sekali. Sempat aku ragu, apakah benar-benar ada peradaban di ujung jalan ini.

Ada satu fase perjalanan yang benar-benar tertutup kabut. Putih sekali. Tidak terlihat apapun di depan. Bahkan jalan yang akan kami lewatipun tidak terlihat. Benar-benar tertutup kabut.

Dan setelah keluar dari kabut, subhanallah....pemandangan yang tadinya berupa jajaran ribuan bukit, berganti dengan pepohonan hijau di kanan dan kiri jalan. Hutan tropis. Hijau tua. Burung apa yang ingin kalian lihat di hutan ini? Sebutkan apa saja, dan dengan tegas aku akan menjawab 'ada'. Bukan bualan. Puluhan burung yang dengan santainya melenggang di atas pepohonan, tak satupun dari mereka yang pernah kulihat sebelumnya. Entah mungkin karena aku sendiri tidak pernah begitu memperhatikan burung-burung di pulau kelahiranku.

Keren.
Keren.
Kereeennn sekali.

Aku menyebut kabut tebal itu 'lorong waktu'. Aku yakin, dari Surabaya ke Waingapu, aku memasuki dua lorong waktu. Pertama saat pesawat memasuki awan hitam tebal sepanjang perjalanan Kupang - Waingapu. Itu lorong waktu pertama, di sini aku mundur selama kurang lebih 40 tahun. Dan kabut tebal di tengah perjalanan Waingapu-Mahaniwa kuyakini sebagai lorong waktu kedua. Di sini mungkin aku mundur sekitar 40 tahun lagi. Jadi, ketika aku berada di Mahaniwa, aku seperti ada pada waktu 80 tahun yang lalu.

Mengenai kehidupan di sana. Ijinkan aku mengawali ceritaku dengan kata luar biasa.
Seperti hidup di jaman apa, entahlah. Saat kuceritakan kepada ibuku, beliau bilang, masa ini seperti masa sebelum ibuku lahir. Bukan berlebihan. Hidup tanpa listrik. Tanpa sinyal telepon. Mandi di mata air. Makan dari apa yang di tanam. Tidak ada ikan segar, kecuali jika berminat, memancing belut yang harus diperoleh dengan imbalan bermalam di hutan.

Setiap pagi, kami harus bergumul dengan asap untuk sekedar menanak nasi dan menumis selada air.
Selada air adalah sajian khas di Mahaniwa. Gratis. Tanpa perlu beli, tanpa perlu tanam, tanpa khawatir stoknya akan habis. Melimpah, hijau, segar. Hanya saja untuk mendapatkannya, harus rela berbcek-becek di rawa-rawa. Pernah teman perempuanku hampir separuh badannya terendam lumpur selepas berburu selada air :p.

Hari minggu, kami biasa masuk hutan membawa parang untuk mencari kayu api. Beruntung kami ber-8 di tempat ini, jadi sekali masuk hutan, bisa bertumpuk-tumpuk kayu api yang kemi peroleh, jadi tidak perlu masuk hutan setiap minggu.

Masyarakatnya sungguh ramah. Setiap hari adaa saja yang mengantar jagung, labu jepang, pucuk labu, singkong, bunga pepaya, daun ubi, daun paku.... Untuk sekedar hidup di tempat ini, tidak perlu khawatir, sumber alam melimpah ruah. Uang hampir tidak berlaku di tempat ini. Tapi sekali turun ke kota, bisa-bisa ludes semua isi dompet untuk membeli keperluan rumah tangga, karena kami harus berbelanja dalam jumlah yang banyak untuk stok beberapa bulan ke depan.

Sore hari, aku biasa menikmati indahnya pegunungan-pegunungan kecil yang terlihat indah di depan rumah tinggalku. Kadang aku menyempatkan diri untuk naik ke puncak bukit terdekat, untuk sekedar makan siang, baca buku, melamun, atau menikmati segarnya udara,.

Di sini, guru sangat sangat dihormati. Hampir semua orang, besar, kecil, tua muda, memanggilku "Bu Guru". Bahkan seorang guru asli Mahaniwa mengajari anaknya memanggilku "Tante Ibu".

Setiap malam...pemuda-pemuda Mahaniwa biasa main ke tempat tinggal kami untuk mengabiskan separuh malam.Ngorol ngalor ngidul, main poker, main gitar.

Setiap malam juga, aku dan beberapa temanku selalu meneriakkan kata yang sama, "Waaahhhhhhhhh" dengan mata yang berkaca-kaca melihat jutaan kunang-kunang bercanda di bukit-bukit yang mengelilingi tempat tinggal kami. Melihat jutaan bintang di langit yang biru sekali.Sesekali aku kembalimencubit salah satu temanku, saat dia berteriak kesakitam, barulah aku yakin bahwa aku memang sedang berada di dunia nyata. :p
Dulu, aku sempat berpikir, mengapa jarang sekali terlihat bintang di Gresik dan di Surabaya.
Sekarang baru aku tau jawabannya. Karena semua bintang di dunia ini, pergi ke Mahaniwa. Semuanya. Hingga langit seperti tak mampu menampung mereka semua.


Luar biasa.

Murid-murid di sini haus sekali akan informasi baru. Tak mampu aku memandang mata mereka satu persatu ketika hari kedatanganku. Bersemangat sekali. Mata mereka seperti bicara, "Bu, apa yang akan kau berikan kepada kami? Kapan bu...ayo...kita belajar sekarang bu....kami sudah lama sekali menantimu"

Bahkan ada pemuda yang sayang sekali sudah putus sekolah berkata, "Baru kali ini saya merasa asik bergaul dengan orang baik". Yah...dia preman, selama ini dia berpikiran bahwa untuk bersenang-senang, satu-satunya cara adalah menjadi preman. Mengganggu orang, minta rokok, mabuk-mabukan. Dan sekarang dia telah menjadi kawan baik kami.


Ada seorang pemuda putus sekolah lainnya yang mengungkapkan sesalnya, "Dulu, saya kira, lebih asik diam di padang sambil jaga ternak, ternyata, sekolah itu lebih asik ya..."


Luar biasa.

Aku tidak yakin, apa bulan November mendatang aku akan siap untuk meninggalkan mereka....

Maka peraslah semaumu...!

Jika setetes embun saja dapat membasahi kertas itu... 
Maka peraslah seluruh cairan dalam tubuh ini.. 
Puaskan kau mandi dengan perasannya 
Hari ini...esok..lusa... 

Dan setiap hari aku akan kembali 
Lalu puaskan kau memerasku lagi... 
Hingga aku mati dalam kering.. 
Hingga aku mati dengan seulas senyum... 
Hingga aku terkubur dengan anggun.. 
Dan aku tidak perlu lg bingung dengan apa aku akan menjawab pertanyaan d kuburku... 

Untukmu negeriku, 
Kuberikan seluruh hidupku...